Identitas yang Terkoyak: Membaca Salah Asuhan sebagai Kritik Kolonialisme

Selasa, 27 Mei 2025 17:30 WIB
Bagikan Artikel Ini
img-content
Novel Salah Asuhan
Iklan

Salah satu aspek menarik dalam novel ini adalah kritik terhadap sistem sosial kolonial.

***

Salah Asuhan adalah novel karya Abdul Moeis yang terbit pada tahun 1928 melalui Balai Pustaka. Novel ini menjadi salah satu karya penting dalam sastra Indonesia karena membahas isu identitas, budaya, dan konflik sosial pada masa kolonial.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Novel ini menceritakan kisah Hanafi, seorang pemuda pribumi yang kehilangan identitas sebagai anak bangsa. Setelah ayahnya meninggal, Hanafi diasuh dan dibiayai oleh pamannya hingga ia dapat menyelesaikan pendidikannya di HBS. Pengalaman Hanafi bersekolah di HBS dan tinggal bersama keluarga Belanda membuatnya terpengaruh budaya Barat. Ia meniru gaya hidup Eropa, seperti makan di meja makan dan membangun rumah bergaya Eropa, yang tidak disukai oleh ibunya.

Hanafi dijodohkan dengan Rapiah sebagai balas budi. Ia menerima perjodohan itu meski terpaksa, karena hatinya telah tertambat pada Corrie, gadis Indo-Perancis. Hanafi akhirnya meninggalkan Rapiah dan anaknya, bahkan melepaskan adat Minang dengan masuk Kristen demi menikahi Corrie. Namun, pernikahannya tidak mendapat restu dari banyak pihak, termasuk keluarga, sehingga Corrie kehilangan warisan dan ditinggalkan saudara-saudaranya.

Pernikahan Hanafi dengan Corrie pun tidak berjalan bahagia banyak perselisihan terjadi. Corrie akhirnya pergi ke Semarang dan meninggal akibat wabah kolera. Setelah menyadari kesalahannya, Hanafi kembali ke Solok untuk meminta maaf kepada ibunya. Rapiah masih berharap Hanafi kembali, namun karena cintanya pada Corrie, Hanafi memilih mengakhiri hidupnya dengan meminum pil sublimat.

Salah satu aspek menarik dalam novel ini adalah kritik terhadap sistem sosial kolonial. Hanafi dan Corrie dikucilkan, padahal ayah Corrie yang berkebangsaan Prancis menikah dengan ibu Corrie yang pribumi tanpa dikucilkan. Hal ini disebabkan oleh sistem patrilinear, di mana garis keturunan dihitung dari pihak ayah. Jika wanita pribumi menikah dengan pria Barat, laki-laki tersebut tidak akan turun derajatnya. Sebaliknya, jika wanita Barat menikah dengan laki-laki pribumi, ia akan turun derajatnya.

Bagikan Artikel Ini
img-content
Sayyidatina Khaliza

Penulis Indonesiana

0 Pengikut

Baca Juga











Artikel Terpopuler

Artikel Terbaru

img-content
img-content
img-content
Lihat semua

Terkini di Analisis

img-content
img-content
img-content
Lihat semua

Terpopuler di Analisis

Lihat semua